Puisi adalah jendela jiwa
Tempat kita bertukar kata dan isi hati
Ada yang luput dari perhatian saya. Maafkan. Ini soal pembrangusan puisi berjudul Malaikat karya Saiful Badar yang dimuat di Pikiran Rakyat, Sabtu 4 Agustus. Beberapa blog sudah mengulasnya di sini, di sini.
Orang boleh tidak setuju, marah-marah dengan tulisan seseorang. Tetapi ketidaksetujuan yang diungkap dalam tuntutan dan tindakan pembrangusan itu barbar. Preman.
Sebagai bloger saya mengungkapkan solidaritas saya. Dan sebagai ungkapan solidaritas itu, saya muat dalam blog ini Puisi Malaikat. Tidak tahan melawan tekanan, puisi itu dianggap tidak ada oleh redaksi Pikiran Rakyat dalam permohonan maafnya, dua hari kemudian. Sebuah sikap kerdil cari aman khas penghamba modal.
MALAIKAT
Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai makhluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu
Dan maut
Ke saban penjuru.
(2007)
Rekan bloggers yang ingin ikut solider dengan sikap saya ini silakan membubuhi kesetujuannya dalam komentar di bawah ini. Atau setidaknya menyebarluaskannya dalam blog-blog saudara.
Kang Adhi
Saya masih belum menemukan di bagian mana yang menyerang akidah nya tuh.
tul, bingun saya.
Perasaan biasa-biasa saja? Memang ada referensi ke ‘malaikat’ yang mungkin bisa diartikan sebagai sesuatu yang menjurus ke sisi religi, tapi rasanya masih dalam batas-batas kewajaran, deh.
*Indonesia menyusul Malaysia menuju 1984?*
dalam rangka menyusul ketertinggalan brengkali
Itu… kayaknya agak terlalu ke-GR-an. Bagaimanapun, sastra itu kan hampir selalu mengutamakan kata2 bersayap; mustahil bagi seseorang/satu pihak untuk memastikan apa yang dimaksud oleh si penulis. (o_0)”\
Dan lagi, “malaikat” ini belum tentu mengacu ke malaikat religius kan? Bisa saja maksudnya malah diatributkan ke orang-orang yang bersikap “sok malaikat”, dsb. 😉
BTW, ternyata saya baru ngomen sekarang nih, selepas munculnya kang Adhi lagi. Agak telat euy… 😀
hehe, kemana aja? gak pake RSS ya?
Ah menurut saya puisi itu biasa2 saja, tidak ada yang nyeleneh.
Pemberangusan yang berpangkal dari kesesempitan …
betul, masalah pokoknya adalah pada pembrangusan barbarian.
@ Kang Adhi
[OOT]
Sebetulnya sih saya baca feed, cuma baru sekarang aja nulis komen di sini. ^^
[/OOT]
[…] Solidaritas Saya Untuk Puisi Saeful Badar yang Diberangus […]
good idea. gimana klu tiap blogger, menampilkan puisi itu di blognya. lepas setuju atau tidak setuju dengan isinya. tetapi sebagai protes atas pembrangusan.
Saya ikut. Akan saya post besok 😛
sepertinya biasa saja deh, malah puisinya Taufik Ismail atau Emha Ainun Najib bisa ‘ lebih’ nyentil kaidah religiusnya..But apapun itu pemberangusan, pembakaran buku buku memang menunjukan karakter sempit bangsa ini…
untung blog gak bisa (mudah) dibrangus
[…] Solidaritas Saya Untuk Puisi Saeful Badar yang Diberangus […]
salam.
semalam saya ngobrol lama dengan Kang Saeful Badar. maklum rumahnya dekat dengan rumah saya di Tasikmalaya ini. dia menyatakan keterharuannya atas respon kawan-kawan, baik seniman, penikmat seni, dan tentu saja; manusia-manusia yang masih bisa berpikir dengan akal sehat. dia mengucapkan terima kasih atas responnya saat saya ceritakan begitu banyak blog yang berisi dukungan padanya. dia sendiri mengaku masih sedang ‘mengendap’ setelah diteror secara psikis, terutama setelah dipaksa membuat surat permohonan maaf di koran itu, yang katanya membuatnya malu dan terhina. bagaimana pun yang namanya pemberangusan imajinasi, nurani, ide-ide, hanya akan dilakukan oleh jiwa yang kerdil.
oke kang adhi, salam juga dari saya
nazaruddin azhar.
Salam kenal kang Azhar, semoga solidaritas diblogsphere segera memulihkan luka psikis yang dialami kang Badar.
emang yang aneh dari puisi itu yang mana sih?
sampek diberangus segala?
*bis baca komen komen sebelumku*
Eh,Dana, kok komentar kita samaan?
artinya sehati sejiwa
[…] Solidaritas Saya Untuk Puisi Malaikatnya Saiful Badar Yang Diberangus […]
Kalau ada kelompok tertentu yang sok suci dan membunuh kreativitas, “Hanya satu kata: Lawan” –pinjam larik-nya Wiji Thukul yang kini entah di mana. Salam kenal Kang Adhi, sekalian mohon izin ngelink blognya. Salam budaya, merdeka!
Salam budaya. Betul, kita lawan!
Mengingatkan pada “Puritan”-nya Homicide yang memancing kemarahan orang2 sejenis FPI dulu.
Kang Saiful, maju terus!!
Yang sedang anda hadapi itu reinkarnasi Stalin dan Hitler dalam wajah baru, yang memberangus dan membakar buku apapun yang mereka tidak suka.
Tak beda dengan gerombolan bangsa Tartar yang menyerang Baghdad dan menghitamkan sungai dengan buku2 yang dibuang….
*sigh*
jaman tak juga beranjak untuk berubah rupanya ya?
Untuk Kang Saiful… Saya turut berduka. Semoga anda, keluarga dan kerabat diberi ketabahan oleh Allah SWT dalam menghadapi orang-orang yang sedang menzalimi anda.
@Kang Adhi: Jelas saya mendukung dong. Sayang bukan pertamax. Hehehe
amin, emang ente jarang pertamax sekarang
hebat juga yah bisa ngendus dan menerjemahkan puisi mas saiful. giliran ngendus yang korupsi, ga bisa-bisa. atau gak berani. hehehe
koruptor lebih pintar sembunyi kali ya
Ah, nyata ‘kan kalau kita belum benar2 merdeka?
😀
kemerdekaan cuma ada diblogsphere kali ya
klaim lagi-klaim lagi…..
binun aku iks.. puisi seindah itu kok bisa dianggap ga senonoh
😦
kalaupun gak senonoh, emang mesti dibrangus?
[…] Kang Adhi […]
[…] pada Arts have no grammatical and lexical error. Surat ini mungkin menjadi pemicu…kenapa Kang Adhi, Bang Fertobhades, Danalingga dan tentunya Kekasih tercinta menuliskan hal hal bersifat simpatik […]
[…] Fatih itu tentu sangat ironis dan dapat dipahami. Kadarnya mungkin sama dengan peristiwa pembrangusan puisi malaikatnya Saiful Badar. Pembrangusan yang semena-mena semacam itu mengusik antena sensi saya soal kebebasan menulis, […]
Saya perlu menyapa Nazaruddin Azhar. bukankah ini Nunu? Terlalu lama saya tidak berkunjung ke Tasik. Kang Adhi bisakah menghubungkan saya dan dia via jaringan pribadi? Untuk teman2 lain, saya menghargai pendapat2nya. Silahkan kunjungi saya di http://beritaseni.wordpress.com. Salam
saya coba kontaknya, atau tinggalkan pesan di blognya Nunu di http://setapakjalan.wordpress.com
[…] itulah saya memilih untuk menganalogikan agama dengan segitiga (semoga tulisan saya ini tidak diberangus karena sembarangan main analogi….masak agama disamakan dengan bangun datar seperti […]
[…] pitoyoadhi […]
ni baru bahas malaikat..
belum lagi kl nulis soal tuhan
itu orang2 ngerti blog ngga ya?
kl iya, sepertinya mereka akan mati berdiri…
*apa saya juga harus mendelete beberapa tulisan saya tentang tuhan yah? next salman rusdhie? kabur ah…..
“janganlah kamu menggolok2an, karena bisa jadi orang yang kamu olok2an lebih baik daripada yang mengolok2an..”
life is paradox..
sometimes, ngga bisa dipungkiri banyak sekali orang yang memanfaatkan kebebasan berekspresi sebagai media mengeksploitasi..
tapi ngga sedikit orang yang melakukan judge atas nama tuhan, padahal hanya karena pengetahuan yang terbatas..
ujung2nya semua kembali pada kita semua…
klu blog bebas dari mereka-mereka itu, kecuali melanggar TOSnya Matt
ngga ngerti dimana yang salah sampe perlu diberangus
sama
meski tidak memaksudkannya, kang saiful jadi lebih dikenal dengan puisi malaikat yang membakar orang-orang sensitif dengan sumbu pendek, yang meradang setiap kali mendengar dendang tak senada seirama dengan persepsi mereka yang memiliki alurnya sendiri, kebenarannya sendiri, logikanya sendiri sehingga punya cara apresiasi yang juga lain sendiri (baca: teror), semoga dimasa mendatang akan lebih banyak lagi orang – orang yang dapat mengapresiasi sastra lebih santun.
Keep writing, the truth inside your heart
salam
salam
ternyata pemberangusan juga memaparkan isi puisi
salam
salam
kang badar biar kata orang rame diluar…tetep aja cumi ama goreng tempe buatan akang enak pisan….sahur sayah ampe sehah-sehah…tong stress ah!
kang adhi salam kenal yah.
mahesa
salam kenal untuk semua..
baru tau ada polemik seperti ini..
kenapa nggak malaikatnya sendiri aja dipanggil? biar dia jelasin merasa terhina atau enggak..
salam
(Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at, 26 Oktober 2007)
Strategi Paradigma Baru Kongres Cerpen Indonesia V
(Studi Kasus: Polemik Ukuran Nilai Sastra)
Oleh Qinimain Zain
FEELING IS BELIEVING. ILMU diukur dari kekuatannya merumuskan hukum-hukum yang berlaku umum dan hubungannya atas kenyataan, seni dinilai dari pergulatannya dengan hal-hal yang partikular dan penciptaannya atas sesuatu yang belum ada dalam kenyataan (Nirwan Ahmad Arsuka).
JUM’AT, Sabtu dan Minggu, 26-28 Oktober 2007 ini, berlangsung Kongres Cerpen Indonesia V di Taman Budaya, Banjarmasin, yang rencana dibuka orasi budaya oleh Wakil Gubernur Kalimantan Selatan, HM Rosehan Noor Bachri, yang dihadiri ratusan sastrawan, budayan dan intelektual seluruh Indonesia. Dan, panitia sudah memastikan akan tampil pembicara hebat seperti Lan Fang, Korie Layun Rampan, Jamal T. Suryanata, Agus Noor, Saut Sitomorang, Nirwan Ahmad Arsuka, Ahmadun Yosi Herfanda, Kantrin Bandel, dan Triano Triwikromo. Dari forum ini diharapkan banyak masukan kemajuan. Sedang, tulisan ini hanyalah oleh-oleh kecil dari saya (Kalsel) akan masalah polemik panjang Taufiq Ismail-Hudan Hidayat yang masih jadi ganjalan.
Polemik adalah fenomena biasa. Namun, untuk memecahkan dan menjelaskannya polemik sastra (baca: seni) menonjolkan seks sekalipun, harus berdasar sistem ilmu pengetahuan. Jika tidak, hasilnya berbantahan dan sakit hati berkepanjangan. Artinya, bagaimana pun harus dengan kritik akademis, yang diharapkan mampu memberi jalan ke arah penyehatan kembali kehidupan kesusastraan.
Lalu, apa kesulitan sesungguhnya memecahkan hal seperti ini?
Kembali berulang-ulang memberitahukan (dan tidak akan bosan-bosan – sudah ratusan pemecahan), akar masalahnya adalah sebelum tahun 2000, (ilmu) pengetahuan sosial belum dapat disebut sebuah ilmu pengetahuan, karena tidak memenuhi Total Qinimain Zain (TQZ) Scientific System of Science yaitu memiliki kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum (kecuali Teori Hirarki Kebutuhan Abraham H Maslow, proposisi silogisme Aristoteles, dan skala Rensis A. Likert tanpa satuan, belum cukup monumental). Adalah tidak mungkin menjelaskan sebuah fenomena apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistemnya. (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).
YANG baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam jawaban (Robert Spaemann).
Mengenai polemik. Inti pertentangan adalah beda pandangan akan nilai kebenaran sesuatu. Menurut Eric Johnson, setiap orang selalu mempunyai reference point atau titik referensi, yaitu apa yang sudah dialami, diketahui atau diyakininya. Artinya, bila titik referensi seseorang atau kelompok masyarakat dengan orang atau kelompok yang lain tentang sesuatu berbeda, apalagi dimuati kepentingan, polemik mungkin terjadi. Namun sesungguhnya, seorang pribadi dan sebuah kelompok masyarakat yang bahagia, bukan disebabkan tidak adanya pertentangan, tetapi karena tidak adanya keadilan kebenaran. Jadi yang penting dalam pertentangan, mengetahui keadilan pandangan kebenaran pribadi seseorang dihadapkan dengan pandangan orang lain yang berseberangan akan sesuatu hal itu. Artinya, untuk menengahi sebuah pertentangan dan menentukan nilai kebenarannya agar obyektif, harus berdasar kerangka referensi pengetahuan pengalaman yang teratur, yang tak lain sebuah sistem ilmu pengetahuan.
SETIAP kebijaksanaan harus bersedia dipertanyakan dan dikritik oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan lain. Keberlakuan universal harus dapat membuktikan diri dalam konfrontasi dengan mereka yang berpikir lain (Benezet Bujo).
Dalam paradigma TOTAL QINIMAIN ZAIN: The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000), TQZ Philosophy of Reference Frame, terdapat jumlah lima fungsi, berurutan, berkaitan, dan satu kesatuan, kebenaran sesuatu dinilai berdasar titik referensi (1) How you see yourself (logics), (2) How you see others (dialectics), (3) How others see you (ethics), (4) How others see themselves (esthetics), sampai ke level (5) How to see of all (metaphysics), yang harus ditanyakan sebelum keputusan menjatuhkan nilai kebenaran sesuatu dalam pertentangan.
Di sini terdapat hubungan dan pergeseran referensi nilai kuantitatif dengan kualitatif. Dari level logics (benar) yang kuantitatif, ke dialectics (tepat), kemudian ethics (baik), lalu esthetics (bagus), sampai ke level metaphysics (abadi) yang semakin kualitatif. Atau, penekanan referensi sesuatu bergeser dari nilai kebenaran kelompok besar menjadi lebih secara satuan individu, dari hal bersifat konkrit (logika) menjadi abstrak (metafisik). Nampak jelas pula, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, bisa dianggap tidak benar oleh yang lain karena mempunyai titik referensi yang berbeda. Atau malah, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi tidak tepat bagi yang lain, tepat tetapi tidak baik, baik tetapi tidak bagus, dan mungkin saja bagus tetapi dianggap tidak abadi sebagai kebenaran suatu keyakinan tertentu. Dan, jika sampai pada keyakinan nilai kebenaran abadi, ini sudah sangat subyektif pribadi. (Sudut pandang level How you see others dan How you see others, How others see themselves dan How others see you, adalah subyektif karena dalam sudut pandang reference object dan reference direction, sedang How to see of all, adalah lebih obyektif, level adil).
Ada paradoks di sini. Semakin menilai kebenaran sesuatu mengutamakan kepentingan umum (kuantitatif) akan meniadakan kepentingan pribadi (kualitatif). Sebaliknya, semakin mengutamakan kepentingan pribadi (kualitatif) akan meniadakan kepentingan umum (kuantitatif). Ini yang harus disadari dalam menghadapi dan dijelaskan menengahi suatu polemik atau pertentangan apa pun, di mana pun dan kapan pun. Dan, sastrawan (baca: seniman) sadar, harga sesuatu karya terletak kemampuannya menciptakan momentum nilai di antara tarik ulur paradoks ini. Antara konvensi dan revolusi, antara pengaruh nilai lama dan mempengaruhi nilai baru.
SENI kemajuan adalah mempertahankan ketertiban di tengah-tengah perubahan, dan perubahan di tengah-tengah ketertiban (Alfred North Whitehead).
Kembali ke polemik ukuran nilai sastra menonjolkan seks. Dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru TQZ, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas, dan D(ay) atau Hari kerja (sistem ZQD), padanan m(eter), k(ilo)g(ram), dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta, sistem mks). Artinya, kebenaran sesuatu bukan hanya dinilai skala kualitasnya (1-5Q dari sangat buruk, buruk, cukup, baik, dan sangat baik), tetapi juga sempurnanya (1-5Z, lima unsur fungsi TQZ, yang untuk TQZ Philosophy of Definition, yaitu logics, dialectics, ethics, esthetics, dan metaphysics secara berurut). Artinya, kekurangan atau keburukan salah satu fungsi membuat suatu karya nilainya tidak sempurna.
Contoh, definisi paradigma lama, kesusastraan adalah tulisan yang indah. Paradigma baru, nilai keindahan tidak lengkap kalau tidak dikaitkan dengan unsur kebenaran, ketepatan, kebaikan, dan keabadian. Kini, definisi TQZ kesusastraan adalah seni tulisan yang benar, tepat, baik, bagus (indah), dan abadi secara sempurna. Artinya, bila ada pertentangan nilai akan karya sastra (juga yang lain), menunjukkan karya itu memiliki salah satu atau lebih unsur filsafatnya buruk, sebagai sebuah karya yang sempurna. (Memang, sah saja penulis mengejar keunikan atau kebaruan pribadi, mengeksploitasi unsur seks dalam karyanya. Mungkin saja berkualitas segi logika cerita, dialektika nilai, keindahan teknis penulisan dan karya monumental (abadi) suatu genre sehingga juara dalam satu perlombaan. Tetapi dalam paradigma TQZ, tidak sempurna karena abai unsur etika).
Sekarang jelas, yang dikejar penulis mana pun, bukan sekadar ukuran nilai kualitas beberapa unsur, tetapi karya dengan kualitas nilai kebenaran (lima unsur yang) sempurna. Inilah titik kerangka referensi bersama menilai karya sastra (dan juga apa pun) dalam sistem ilmu pengetahuan paradigma baru.
SEKOLAH dan kuliah, seminar dan training, buku dan makalah, ulasan dan kritikan, tanpa menyertakan alat metode (sistem ilmu pengetahuan) pelaksanaannya hanyalah dorongan mental yang membosankan, yang tidak efektif, efesien dan produktif (Qinimain Zain).
BAGAIMANA strategi Anda?
*) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)
[…] Solidaritas Saya Untuk Puisi Malaikatnya Saiful Badar Yang Diberangus Puisi adalah jendela jiwa Tempat kita bertukar kata dan isi hati Ada yang luput dari perhatian saya. Maafkan. Ini soal pembrangusan puisi berjudul Malaikat karya Saiful Badar yang dimuat di Pikiran Rakyat, Sabtu 4 Agustus. Beberapa blog sudah mengulasnya di sini, di sini. Orang boleh tidak setuju, marah-marah dengan tulisan seseorang. Tetapi ketidaksetujuan yang […] Posted by bebas Uncategorized Subscribe to RSS feed […]