Apakah Anda mempunyai gejala sindrom mentalitas korban atau victim mentality. Kenapa tidak belajar dari 2 tokoh muda Tariq Ramadan dan Hussein Obama? Mentalitas korban bisa hinggap pada satu individu, kelompok, suku, bangsa atau agama tertentu.
Tanda-tanda orang yang mempunyai mentalitas macam ini gampang dilihat kok: ketika seseorang selalu mem-blame orang atau kelompok lain sebagai penyebab terjadinya hal buruk dalam hidupnya. Anda miskin dan menuduh si kaya sebagai penyebab ketidakadilan. Anda tidak naik pangkat dan menuduh teman Anda atau boss Anda berlaku tidak adil. Pacar Anda diambil orang dan menuduh dia tidak setia, atau saingan Anda main dukun.
Dalam skala besar, mentalitas korban bisa menghinggapi kelompok suku, bangsa atau agama. Kelompok Anda sial terus dan menuduh kelompok lain berlaku curang. Coba lihat jargon-jargon di sekitar identitas kesukuan, kebangsaan atau keagamaan Anda. Kalau selalu ada tuduhan buruk terhadap suku, bangsa, atau agama lain, atau biasa memburuk-burukan suku, bangsa atau agama lain. Hati-hati, jangan-jangan sindrom mentalitas korban sedang melanda kelompok identitas Anda.
Mentalitas korban adalah sindrom yang berbahaya untuk hidup Anda sendiri. Anda akan selalu merasa sebagai orang yang dikorbankan, dianiaya dan ditindas. Rasa sakit dan marah akan menguasai Anda dan kelompok Anda. Lalu seluruh energi yang luar biasa yang Anda miliki hanya akan habis-habisan Anda pakai untuk menjadi sangat agresif atau sangat menutup diri. Tetapi keduanya berpangkal dari keinginan mempertahankan diri, mekanisme defensif yang keliru. Akibatnya Anda atau kelompok Anda tidak pernah meraih kemajuan apapun, selain kebiasaan mudah tersinggung, keahlian untuk bertahan, protes dan aggresif suka menyerang.
Menjadi korban tidak harus = mempunyai mentalitas korban
Mungkin saja benar bahwa Anda atau kelompok Anda pernah menjadi korban dari perbuatan buruk orang atau kelompok lain. Tetapi menjadi korban tidak harus berarti Anda mempunyai mentalitas korban. Mentalitas korban muncul ketika Anda terus mengingat-ingat menanamkan dalam diri dan pikiran Anda bahwa orang lain berlaku tidak adil kepada Anda. Dan dimanapun Anda dan situasi Anda, Anda selalu merasa dan bertindak sebagai korban. Menuduh, menyerang, kawatir, penuh syak-wasangka, curiga, nyinyir dan tidak produktif.
Jalan terbaik untuk mengatasi mentalitas korban dalam diri Anda adalah kebesaran hati untuk memahami sebaik-baiknya orang lain, memaafkan dan meminta maaf. Karena pada saat itu Anda telah menjadi lebih besar dari orang yang berlaku tidak adil kepada Anda. Jangan menunggu apalagi meminta orang lain meminta maaf. Karena itu hanya memperkuat mentalitas korban dalam diri Anda. Anda dapat langsung mencoba memahami dan memaafkan dalam hati atau pikiran Anda, karena di situlah akar mentalitas korban terbentuk. Tetapi mungkin kebanyakan dari kita tidak terlatih untuk itu. Coba perhatikan bagaimana orangtua dan anak berkomunikasi di masyarakat kita. A) Berapa waktu yang dipakai untuk mengkritik, melarang, mengatur, menasehati, memarahi, mendebat anak dan menjejali anak-anak dengan petuah-petuah suci? Lalu bandingkan B berapa waktu yang dipakai orangtua untuk mendengarkan, bercerita, memuji, mengerti? Mulai sejak masa kanak-kanak sampai dewasa? Haikul yakin kebanyakan keluarga mempunyai perbanding A yang lebih besar daripada B. Hati-hati, masyarakat kita sedang menciptakan generasi bermental korban. Apakah Anda mengenal Prof Tariq Ramadan dan Senator Hussein Barack Obama? Yang pertama, Ramadan, adalah kampiun muslim Eropa, 45 tahun, pemikirannya cerdas gemilang. Majalah Time memprediksikan dia akan menjadi salah satu orang yang akan mempengaruhi dunia di abad 21. Yang kedua, Obama, 46 tahun adalah Senator Amerika dengan cap minoritas, orang hitam. Mereka adalah contoh gemilang orang yang mengatasi sindrom mentalitas korban. Apapun agama kesukuan kita, kita pasti pernah menjadi korban atau mungkin melihat orang lain menjadi korban, belajarlah dan ajarilah orang lain dengan contoh dua tokoh ini. Tentang keduanya lihat di:
Tariq Ramadan – Wikipedia, the free encyclopedia
Barack Obama – Wikipedia, the free encyclopedia
Pitoyo Adhi
setuju banget saya!! keseimbangan dan kesetaraan harus diperjuangkan, bukan ditangisi.
Wah jangan-jangan saya telah kejangkitan penyakit ini… duh mulai ngobati ah… makasih pencerahannya. kalau gitu gak perlu ngatarsis yah…?
Jangan sampai ketularan ah…
(** Tutup mata, telinga, hidung, mulut, burung **)
Melalui refleksi sederhana saya, saya memahami kenapa sampai kita memiliki mental victim. Analisa sederhana berpangkal dari ketidakmampuan kita menghadapi diri sendiri. Kita seringkali gagal menghadapi diri sendiri, mengevaluasi diri, bahkan sangat berat untuk melihat kesalahan-2 kita, dan akhirnya yang paling mudah adalah menyalahkan pihak lain.
Thanks untuk commentnya dan juga refleksinya. Memang mentalitas ini sekarang termasuk bahaya luar biasa seperti flu burung saja. Bisa mewabah. Kalau enggak diatasi, jadi gak maju-maju bangsa kita.
Hmm… ini pasti rekayasa kelompok lain!!! Mereka semua memang selalu saja memusuhi kita, mempersulit kita. Kafir-kafir itu memang berkomplot untuk menghancurkan kita! Aaaargh!!!
*mental korban sejati*
@ wadehel, hehe oom wadehel pinter pisan ngasih contoh, suhun atuh…
Saya belajar banyak dari Dr. Viktor Frankl, seorang psikiater korban kamp konsentrasi NAZI.
mentalitas korban tidak sama dgn Stockholm Syndrom, kan ? 🙂
nah dalam kasus penerapan hukum. sebagai rakyat kita hanya bisa betereak, wakil rakyat yang ngetuk palu.